Minggu, 17 Maret 2013

[share] Semoga Ayah Ibuku Tidak Korupsi... (renungan bangsa yang telah hilang)

Mural menjadi salah satu media kampanye untuk melawan maraknya praktik korupsi di negeri ini. Salah satu karya mural antikorupsi tersebut bisa ditemui di bawah Jembatan Layang Jalan Jenderal Gatot Subroto, Sabtu (16/3).



KOMPAS.com - Rakyat mengungkapkan rasa jijik mereka atas menggilanya kejahatan korupsi lewat mural di tembok-tembok kota. Di ruang pamer, perupa ”berperang” melawan korupsi dengan menampilkan sosok celeng, alias babi hutan, sebagai metafora keserakahan para pengisap harta rakyat.
"Ya Tuhan, Semoga Ayah Ibuku Tidak Korupsi...”, itulah harapan dan doa warga yang tertulis pada pilar beton penyangga jembatan layang yang melintas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Di samping tulisan itu tergambar seorang ibu berdoa dengan tangan menengadah.
Di tiang penyangga lain, masih di kolong jembatan layang yang sama, ada mural atau lukisan dinding bergambar perempuan dengan air mata menitik bertuliskan, ”Aku Tak Sudi Bersuamikan Koruptor...”.
Gambar itu terbuat dari kertas berwarna putih dan ditempelkan di dinding beton. Kondisinya usang dan berimpit dengan gambar-gambar lain. Namun, mural ini tampak cukup menohok mata. Kata-katanya tertulis dengan huruf berwarna merah tegas.
Mural-mural di kolong jembatan layang itu terletak sekitar 300 meter dari gerbang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berpagar besi menjulang. Kolong jembatan itu menjadi tempat berteduh warga pejalan kaki atau pengendara motor kala hujan turun.
Kita simak mural lain di tembok jembatan layang arteri Permata Hijau, Jakarta Selatan. Di sana, ada mural bergambar wajah dengan ujung jari telunjuk yang ditempel di depan bibir. Wajah itu seakan memberi isyarat peringatan. Lalu ada tulisan, ”Ssstt... Ingat...!!! Masih Ada Korupsi...”.
Cobalah tengok ke terowongan Cawang, Jakarta Timur. Pada dinding kiri ujung terowongan yang mengarah ke Cililitan terpampang mural yang menggambarkan meja makan. Di atasnya ada mangkuk berisi buah-buahan dan gelas minum. Meja itu dikitari sosok berdasi berkepala setan, tikus, babi, dan celeng. Pada sudut kanan bawahnya terbaca pesan, ”Hati-hati dalam Memilih”.

  • Lawan
Begitulah mural-mural bertebaran di sudut-sudut kota Jakarta dengan muatan ekspresi yang hampir sama, yaitu melawan korupsi! Tak mudah melawan korupsi dengan cara mural. Komunitas Street Serrum yang cukup gencar berperang melawan korupsi dengan senjata mural harus pintar-pintar bermain kucing-kucingan dengan polisi atau petugas dari kelurahan.
Komunitas Serrum lahir tahun 2006 sebagai wadah para mahasiswa bereksplorasi dengan menjajal berbagai medium karya seni rupa. Arief ”Arman” Rachman (32), salah satu pegiatnya, menuturkan, nama ”Serrum” sebenarnya pelesetan dari bahasa Inggris, share room, yang bermakna berbagi ruang. Dalam hal ini berbagi ruang penyampai unek-unek rakyat.
Namun, tidak mudah berbagi ruang dengan pihak yang mungkin mendukung korupsi. Nyatanya, banyak mural antikorupsi kerap berumur pendek. Bahkan, banyak yang hanya berumur jam-jaman. Para pegiat street art sudah hafal, ada daerah-daerah keramat untuk mural dan grafiti. Underpass Dukuh Atas itu salah satu tempat paling ”keramat”, grafiti atau mural apa pun biasanya akan dibersihkan dalam satu-dua hari.
MG Pringgotono (32) alias MG, anggota Serrum, hafal jenis mural, grafiti, atau poster ”keramat” yang tak bakal berumur panjang. Tiap kali membuat mural, grafiti, dan poster antikorupsi yang menyebut nama tokoh, misalnya seorang terpidana korupsi, pasti karya itu bakal lenyap dalam hitungan jam.
”Jadi, ada lokasi ’angker’, yang pasti membersihkan grafiti, mural, atau poster apa pun dalam hitungan hari. Dan, selalu ada isu ’keramat’ yang selalu dibersihkan entah oleh siapa dalam hitungan hari, bahkan jam,” kata MG.
Namun, mereka tidak pernah jeri dan terus bergerilya melakukan ”perang kota”. ”Kami memilih melakukan pendidikan publik di ruang publik, lewat propaganda publik,” ujar MG.

  • Perang celeng
Bendera perang terhadap korupsi juga dikibarkan oleh pelukis Aris Budiono Sadjad dengan menggelar pameran bertajuk ”Perang Suci Melawan Korupsi”, 14-23 Maret 2013, di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Pameran yang menggelar 23 lukisan ini dibuka oleh Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dedi A Rachim, Kamis (14/3).
Aris geram melihat perilaku para koruptor yang tidak menampakkan penyesalan. Karena itu, ia menggunakan celeng sebagai metafor kerakusan dan kebebalan. ”Kalau tikus itu mudah dikalahkan dan penakut, nah kalau celeng, tetap merasa gagah walau korupsi,” kata Aris.
Dalam lukisan ”Empat Cakil Rakyat”, Aris menggambar empat butha cakil (raksasa kecil yang rakus) sedang menunggang empat ekor celeng. Keempat celeng bertaring panjang dengan mata mendelik dan mulut merah. Jelas sekali ciri-ciri sebagai ”hama” yang rakus itu siap memangsa apa saja.
Di lukisan lain dengan penuh ironi Aris melukis ”Corruptor Family Gathering”. Di kanvas tampak sejumlah kalangan sedang berpesta pora, bersenang-senang, berenang, main musik, dan segala aktivitas hiburan lainnya. Hal yang aneh, seluruh pelaku pesta pora itu berwajah celeng. Begitulah, kata Aris, sifat celeng. ”Selalu gagah, tak pernah takut, malah diperlakukan seperti selebritas. Semua itu, kan, kini terjadi di hadapan kita?” kata Aris.
Kita kini seolah hidup di negeri penuh koruptor. Pemutarbalikan fakta jadi hal biasa, perasaan tidak bersalah jadi pemandangan sehari-hari. ”Dan itu memuakkan sekali, sudah seharusnya dilawan,” kata Aris.
KPK merasa mendapat kawan dalam berperang melawan para ”celeng” pemangsa harta rakyat. ”Ibaratnya kami sedang berperang sendirian di tengah gurun pasir, dan tiba-tiba ada sumber air. Ini menyejukkan kami. Ternyata, KPK punya teman-teman seniman,” kata Dedi dalam pembukaan pameran di BBJ.

  • Provokasi kesadaran batin
Seniman yang beraksi dengan mural dan grafiti di tembok-tembok kota tentunya juga kawan- kawan KPK. Budayawan Mudji Sutrisno SJ menyebut seniman seperti mereka sebagai penjaga kehidupan yang tetap mau menjaga kelangsungan hidup bermartabat.
Apakah suara rakyat yang terucap di tembok-tembok kota itu didengar orang?
”Kentungan harus dipukul terus untuk mengingatkan jaga malam saat waktu jaga, atau bahaya-bahaya, maling, kebakaran yang akan menghancurkan masyarakat. Anjing harus terus menggonggong lantaran proses membaca tulisan-tulisan di mural yang antikorupsi masih tetap menemukan bacaannya untuk kita,” kata Mudji.
Mudji melihat suara-suara di tembok kota tetap diperlukan. Yang berbahaya adalah kalau apatisme dan kebisuan, cuek, tidak acuh sudah menjadi sikap lalu tidak ada sama sekali reaksi atau tulisan-tulisan mural lagi. Bila sampai tahap ini, demokrasi dan hidup bersama berada dalam lampu merah. ”Selama seniman nurani masih terus nulis tajam dan kritis antikorupsi di mural-mural, itu berarti masih ada dinamika hidup di masyarakat kita,” kata Mudji.
Bagaimanapun, suara rakyat di tembok-tembok kota atau di ruang pameran akan tetap mempunyai makna di tengah kehidupan negeri ini saat ini. Kritikus seni rupa Suwarno Wisetrotomo dalam katalog pameran ”Perang Suci Melawan Korupsi” mengingatkan bahwa karya seni memiliki fungsi untuk memprovokasi kesadaran dan batin.
Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta itu menandaskan, ”Karya seni melatih kepekaan dan sikap kritis terhadap segala ketidakadilan atau kezaliman yang menimpa manusia, kemanusiaan, serta kehidupan.” (AHA/CAN/ROW/XAR)

 sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2013/03/17/09110734/Semoga.Ayah.Ibuku.Tidak.Korupsi.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar